Treasure

“Take a stand for what’s right. Raise a ruckus and make a change. You may not always be popular, but you’ll be part of something larger and bigger and greater than yourself. Besides, making history is extremely cool.”

Samuel L. Jackson

Baitul Hikmah yang berada di Baghdad menempati urutan terpertama sebagai perpustakaan paling masyhur sekaligus terbesar dan terlengkap. Islam kemudian menempati cerminannya dalam peranan ilmu dan perbendaharaan ilmiah yang batasannya sulit tertandingi. Khalifah Al-Ma’mun mempunyai cara kreatif untuk menambah jumlah koleksi perpustakaan. Pertama, dengan membeli langsung. Al-Ma’mun menyuruh mengutus beberapa utusannya menuju Konstantinopel untuk membeli buku apapun jenisnya. Terkadang, ia sendiri yang ke sana, dan memilih buku apa saja yang pantas di bawa pulang ke Baitul Hikmah. Kedua, mengganti jizyah dengan buku. Maka, jadilah buku berhamburan di perpustakaan. Sebagaimana puji dari Al-Qalqasyandi dalam Shabahul A’sya, “Koleksi buku paling besar dalam Islam ada tiga. Salah satunya adalah koleksi khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di sana terdapat buku-buku yang tidak diketahui berapa banyaknya, dan tidak ada yang dapat menyamai keelokannya. Sedangkan koleksi besar yang kedua adalah di Kairo, dan ketiga ada di Cordova.” Bahkan, di awal-awal kekuasannya, Al-Hakam bin Abdurrahman An-Nashir, penguasa Andalusia, mengutus orang-orang ke seluruh penjuru negeri timur untuk membelikannya buku-buku. Ini menunjukkan gairah keilmuan dan kecintaan akan buku merebak ke segenap penjuru negeri Islam.

Dalam Tarikhul Khulafa’, “Aku belum pernah melihat seorang alim,” kisah Abdullah bin Mubarak, “tidak juga seorang ahli qiraat, tidak ada yang mendahului kebaikan, tidak ada pemeliharaan dari kehormatan suatu hari sesudah zaman Rasulullah dan zaman khulafaur rasyidin serta para sahabat, yang lebih banyak pada zaman Harun Ar-Rasyid. Seorang bocah mengumpulkan Al-Qur’an ketika ia berusia belasan tahun. Banyak bocah belia yang menjadi pakar di bidang fiqih dan ilmu, meriwayatkan hadits, mengumpulkan diwan-diwan, menjadi seorang pengajar atau penasihat, padahal umurnya masih sebelas tahun.”

Sebagai pemicu kecintaan akan ilmu, dan memerhatikan buku-buku serta memindah ilmu-ilmu yang menakjubkan dari khazanah bangsa lain, digulirkanlah hadiah istimewa. “Suatu yang sudah mashyur,” tutur Ibnu Sha’id Al-Andalusi dalam Thabaqat Al-Umam, “di kalangan para khalifah dan penguasa muslim pada masa lalu dengan memberikan hadiah-hadiah besar dan pemberian yang sangat banyak kepada para ilmuwan, dengan tujuan agar para ilmuwan tersebut bersemangat dalam menelurkan karya-karya dan berlomba dalam ilmu pengetahuan. Hadiah-hadiah itu dalam bentuk yang hampir mendekati pada khayalan. Ada yang diberikan sesuai dengan berat timbangan buku yang diterjemahkan—dari bahasa selain Arab ke dalam bahasa Arab, ada juga yang memberi emas kepada seorang alim yang meluangkan waktunya untuk menerjemah buku.”

Akan tetapi, kemudian orang-orang Tartar menginvasi negeri Islam dan membawa buku-buku tersebut ke negeri mereka, padahal mereka bukanlah kaum yang mencintai ilmu dan menghargai buku. Orang-orang Tartar melemparkan jutaan buku tersebut ke sungai Tigris, sehingga warna airnya kelam karena lunturan tinta. Versi lain dari riwayat bahkan lebih ekstrim lagi: orang-orang Tartar menyeberangi sungai di atas jilid-jilid buku yang besar dari tepi sungai ke tepi sungai yang lain.

***

Suatu hari, saya mendapati sebuah buku tentang sejarah arsitektur Islam. Sejak mulanya, saya yang memang naksir berat sama Mimar Sinan ini, melihat buku yang ukurannya bahkan lebih besar dari bantal itu, membuat saya berbinar tak karuan. Kualitas fotografinya jempolan, tataletaknya bisa diandalkan kenyamanan bacanya. Benar-benar seperti bertemu bidadari saat melamun sendirian di pinggir sungai. Nah, bagi saya bertemu buku seperti itu kemudian riang alang kepalang, belum tentu orang lain. Bisa jadi malah jadi pengganjal pintu atau penyeimbang lemari yang porsi potong tiangnya salah. Tapi menjadi unik, bilamana dua orang yang sama-sama mencintai buku berkumpul, dan menemukan buku keren yang bikin semaput. Saya pernah, di suatu sore bersama seorang kawan yang melihat buku tentang Tintinology. Ekspresi saya mungkin sudah lebay karena saking girangnya bisa berjumpa buku langka seperti itu. Kawan saya lebih lebay lagi, ia sampai misuh-misuh tak karuan saking hebohnya. Ternyata, di masa kecilnya ia bahkan pernah nekat ngutil komik Tintin dari toko buku, karena saking inginnya buku tersebut, namun apa daya kondisi ekonomi yang tak mendukung.

Jika buku berada di tangan yang salah, nilainya hilang seketika. Jika berada di hadapan pecintanya, ia serasa harta karun yang seolah emas berada di semua sisinya. Seharusnya, tak usahlah kita membeli buku, bila tak ada waktu untuk merawatnya.[]

Tinggalkan komentar